Menag Nasaruddin Umar: Dakwah di Era Post-Truth Perlu Sentuhan Seni dan Pendekatan yang Bijak

Jakarta, Hidayatullahsumsel.com - Musyawarah Nasional (Munas) ke-6 Hidayatullah resmi dibuka dengan suasana penuh semangat dan kehangatan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Forum lima tahunan ini bukan sekadar ajang musyawarah, tetapi juga menjadi ruang silaturahmi dan refleksi dakwah bagi umat.

Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., hadir membuka acara tersebut. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi yang mendalam terhadap perkembangan dan kiprah Hidayatullah.

“Saya melihat Hidayatullah tumbuh begitu pesat dan kini mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. Ini menunjukkan semangat khaira ummah yang patut diapresiasi,” ujarnya, Selasa, 29 Rabi‘ul Akhir 1447 H (21 Oktober 2025).

Menag menilai, perkembangan pesat Hidayatullah mencerminkan kematangan organisasi Islam yang mampu memadukan nilai-nilai keislaman dengan semangat keindonesiaan. Namun di tengah apresiasi itu, ia juga mengingatkan adanya tantangan baru dalam dunia dakwah: era post-truth, masa ketika kebenaran sering kali dikaburkan oleh opini dan kepentingan politik.

“Dalam era post-truth seperti sekarang ini, kebenaran yang bersumber dari ayat, hadis, dan undang-undang ternyata bisa direlatifkan oleh politik,” tegasnya.

Menurutnya, jika dulu masyarakat cenderung menerima kebenaran dengan sikap sami‘na wa atha‘na (kami dengar dan kami taati), kini kebenaran tersebut kerap dipertanyakan, bahkan dipelintir oleh wacana publik. Karena itu, dakwah di masa kini membutuhkan seni dan metodologi khusus agar pesan kebenaran bisa tersampaikan dengan efektif.

“Diperlukan bukan hanya penyampaian kebenaran itu sendiri, tapi juga metodologi yang lebih khusus lagi, diperlukan seni di dalam berdakwah,” jelas Imam Besar Masjid Istiqlal tersebut.

Lebih jauh, Nasaruddin Umar menekankan pentingnya memahami dua konsep dasar dalam ajaran Islam: al-khair (kebajikan) dan al-ma‘ruf (prinsip kebajikan). Ia menjelaskan bahwa al-khair bersifat induktif, dimulai dari bawah ke atas, menggambarkan pendekatan dakwah yang mengajak dengan kelembutan dan menghargai keragaman masyarakat. Sementara al-ma‘ruf bersifat deduktif, pendekatan dari atas ke bawah yang menegaskan prinsip-prinsip moral dan kebenaran.

Bagi Menag, dakwah tidak bisa diseragamkan. Masyarakat Indonesia yang majemuk menuntut pendekatan yang peka terhadap konteks sosial, budaya, serta tingkat pemahaman keagamaan umat.

“Ormas Islam perlu memahami secara mikro keragaman masyarakat Indonesia,” pesannya penuh makna.

Dalam bagian penutup, Menag mengulas makna mendalam dari istilah Ummah. Ia menggambarkan Ummah sebagai komunitas ideal yang dibangun atas dasar cinta kasih dan kepemimpinan moral.

“Dari akar kata yang sama, lahir istilah seperti ummi (ibu, pencinta sejati), imam (pemimpin), dan makmum (pengikut santun), semuanya menggambarkan keterikatan sosial yang dilandasi kasih dan kepemimpinan moral. Komunitas yang diikat oleh kasih sayang mendalam, itulah Ummah,” ungkapnya.

Menutup arahannya, Nasaruddin Umar mengajak Hidayatullah untuk terus meneguhkan peran dan identitasnya di tengah umat.

“Jadilah Irsyadul Ibad, jadilah Hidayatullah, dan jadilah pemimpin umat,” pungkasnya.

Sebagai simbol dimulainya Munas, Menteri Agama memukul gong tanda pembukaan. Acara kemudian dilanjutkan dengan penyerahan plakat penghargaan dari Ketua Umum DPP Hidayatullah, Dr. H. Nashirul Haq, M.A., kepada Menag, melambangkan semangat persaudaraan dan komitmen bersama dalam menegakkan dakwah yang berkeadaban. |*


Posting Komentar

Silakan memberikan komentar.
Untuk menghindari adanya spam, mohon maaf, komentar akan kami moderasi terlebih dahulu sebelum ditayangkan.

Terima kasih.