Palembang, HidayatullahSumsel.com — Ustadz Yono, dia biasa dipanggil. Nama lengkapnya Ustadz Sriyono. Awal bergabung Hidayatullah di Dumai, Riau. Pertama kali diajak oleh Ustadz Afifuddin yang bertugas di Kota Pengantin Berseri itu pada tahun 1998.
Sebenarnya, ia ke Dumai dengan tujuan mengantar istrinya mencari orang tuanya yang sejak kecil umur 18 bulan meninggalkannya di kampung Wonogiri dan tidak pernah pulang. Yang ada hanya surat dan kiriman uangnya.
Lama kelamaan tidak tahan rindu untuk ketemu orang tuanya. Sehingga, dari Wonogiri, ia membawa tiga anak laki-laki yang masih kecil menuju Dumai.
Rumah mertuanya dekat dengan lokasi pesantren. Bahkan ayah mertua menjatahkan khusus untuk masakan para santri yaitu ubi, sayuran, dan buah-buahan.
Dalam sebuah tur dakwah di Sako Suban, Kab. Muba, pedalaman Sumsel |
Ia lalu direkrut menjadi guru untuk bersama merintis pendidikan di Hidayatullah Dumai. Merasa ada kecocokan, ia pun menerima tawaran itu. Sebenarnya, sejak kuliah di IKIP Yogyakarta, Ustadz Sriyono sudah membaca Majalah Suara Hidayatullah tahun 1988-1992.
Hingga beberapa tahun kemudian, ia berhasil merintis dan mendirikan pendidikan SD dan SMP di Hidayatullah Dumai. Setelah beberapa tahun, ia bersama istri berniat mengantar temannya pindah tugas ke Hidayatullah Medan. Sekaligus rihlah bersama keluarga.
Rupanya, setiba di Medan, ia ditahan oleh Ustadz Ali Hermawan untuk bergabung di Hidayatullah Medan. Tepatnya di Tanjung Morawa. Ia diminta untuk menemani Ustadz Khairul Anam yang baru datang dari Hidayatullah Balikpapan.
Tidak lama di Medan, lalu ditugaskan ke Pulau Nias. Sebuah daerah minoritas Muslim, hanya 6% saja. Daerah tempat berdiri Hidayatullah Nias, Muslimnya hanya satu KK saja.
Bersama Bupati Banyuasin, Sumsel, Bapak H. Askolani |
Pertama kali datang di Nias kala itu, ada jadwal khutbah di daerah komunitas Muslim. Selesai khutbah, Ustadz Sriyono langsung ditarik oleh anak muda keluarga Kepala Desa setempat.
“Mana si Fulan!” tanyanya dengan nada marah dan mengertak.
“Saya tidak kenal dan tidak tahu” jawab Ustadz Sriyono kebingungan.
“Jangan bohong kamu” kata anak muda itu dengan nada masih marah.
“Sebenarnya, ada masalah apa dengan dia. Saya petugas yang baru datang dari Medan dan tidak tahu masalah,” tanyanya dengan agak tenang.
Akhirnya anak muda itu menerangkan panjang lebar. Ustadz Sriyono hanya mengatakan, “berarti kita sama-sama korban dan dirugikan. Mari kita ikhtiar dan doa sama-sama”
Peristiwa yang lebih menegangkan lagi, ketika mau berangkat khutbah Jumat. Ada orang mengetuk pintunya dengan keras dan kasar.
Saat membuka pintu, ternyata, ada tetangga non Muslim telah menghunuskan pedangnya. Dengan wajah merah dan berkata, “siapa yang melepas pipa air saya”.
Subhanallah, Ustadz Sriyono saat itu tidak ada takut sama sekali. Ia tenang menghadapinya. Salah bicara atau salah sikap sedikit, pedang yang ada di depan matanya itu bisa saja melayang menebas leher.
Terjun langsung dalam pembangunan gedung sekolah di Kampus Madya Hidayatullah Banyuasin |
“Mungkin, bapak yang punya tanah itu. Mungkin lupa beliau mengembalikan pipanya. Kalau tak percaya silahkan bicara dengannya, saya teleponkan.”
Ustadz Sriyono dengan tenang menelepon orang yang dimaksud. Setelah tersambung, langsung diserahkan untuk langsung bicara.
Ternyata tetangga non Muslim tersebut dimarahi karena dianggap bersalah. Sehingga pedang itu turun dan marahnya pun mereda. Selanjutnya orang itu diajak menjadi tukang di Pesantren Hidayatullah Nias.
Ada masalah yang tak kalah menegangkan. Suatu ketika santri kelas 3 MTs tidak bisa ikut ujian negara. Sementara tinggal 2 hari dikasih waktu oleh Diknas untuk melengkapi persyaratannya. Uang kas juga tinggal Rp 100 ribu.
Akhirnya, dengan kemampuan yang ada, pagi, siang, sore malam lembur. Berbagai cara ditempuh. Alhamdulillah 8 santri bisa ikut ujian.
Merintis Pendidikan
Ustadz Sriyono datang ke Nias bersama istrinya. Saat itu, belum ada rekan yang bisa membantu. Sementara, ada pendidikan SMP dengan 24 santrinya yang harus tetap berjalan.
Tak ayal, ia pun harus sendirian mengajar tiga kelas. Caranya, kelas 1 dan 2 digabung diberi pelajaran dan tugas. Setelah itu ia pindah ke ruang kelas tiga. Setelah itu, ia kembali ke ruang kelas 1 dan 2. “Terus begitu hingga enam bulan,” katanya kepada penulis.
Ustadz Sriyono menilai kegiatan pendidikan generasi Muslim tak boleh terhenti apapun keadaannya. Ia pun memutar otak mencari cara bagaimana ada guru yang bisa membantu. Ia menggencarkan silaturahim, mendatangi guru lama untuk mengajar kembali. Diyakinkan satu persatu. Akhirnya ada beberapa guru yang mau membantu mengajar.
Masalah belum selesai. Ada beberapa santri minta izin pindah karena tidak puas dengan pendidikan di Hidayatullah Nias. Ini pukulan berat, sudah bersungguh-sungguh tapi ternyata masih ada yang belum puas.
Akhirnya Ustadz Sriyono berkata kepada beberapa santri yang minta pindah itu.
“Begini adik-adik, ustadz tidak melarang atau menghalangi kalian pindah. Tapi kasih waktu ustadz satu tahun ini. Jika tidak ada peningkatan murid, guru, dan kualitas, maka silakan adik-adik pindah dan mungkin pendidikan akan kita tutup.”
Akhirnya kerja keras Ustadz Sriyono mencari santri dan meningkatkan pendidikan di Hidayatullah Nias menuai hasil yang cukup menggembirakan. Tahun pertama santri 38, tahun kedua 87, dan terus meningkat pada tahun ketiga 100 lebih santrinya.
Bagi Ustadz Sriyono, bertugas di daerah minoritas itu menarik dan menantang. Salah satu sisi menariknya adalah umat Islam bersatu, kompak, dan tidak ada sekat.
“Jika ada masalah saudara Muslim, maka bahu membahu untuk membantu dan menyelamatkannya. Pesantren Hidayatullah senantiasa diminta untuk terdepan menjadi pelopor,” ujarnya.
Seperti sebuah kata mutiara “di balik laki-laki sukses, ada wanita hebat di belakangnya”. Inilah pula yang dirasakan oleh Ustadz Sriyono yang selalu didampingi istri tercinta dalam setiap tugas dakwah yang dilakoninya.
Istrinya paham dan selalu taat ikut kemanapun tugas. Jika suami berangkat maka ikut berangkat apapun resikonya. Salah satu prinsip kalau pindah tidak perlu repot, cukup membawa baju dan buku. Peralatan yang lain tidak pernah beliau bawa.
Sejak tugas dari Dumai ke Medan, lalu Medan ke Nias, kemudian ke Medan lagi. Terakhir, dari Medan ke Palembang, mereka juga hanya bawa baju dan buku bukunya.
“Metodenya silaturahim ke komunitas Muslim dan mengkomunikasikan dengan baik pendidikan dan dakwah Hidayatullah Nias. Perbaiki ibadah dan doa,” kata Ustadz Sriyono mengungkap salah satu kiatnya dalam setiap tugas yang dijalani.
Ia mengatakan, semakin berat tantangan dakwahm maka semakin nikmat dijalani baik itu tantangan lokasi, masyarakat, maupun dinamika yang ada. “Sesulit apapun, semua nikmat insya Allah,” pungkasnya.
In Memoriam: Ustadz Sriyono, Sosok Peduli Pendidikan dan Dakwah
Ustadz Sriyono lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, pada 16 Maret 1970. Dedikasi beliau untuk pendidikan dan dakwah terlihat jelas dalam berbagai kiprahnya. Beliau Terakhi bertugas si Sumatera Selatan dan menjabat sebagai Sekretaris DPW Hidayatullah Sumatera Selatan dan Ketua Yayasan Kampus Madya Hidayatullah Sumatera Selatan periode 2021-2023. Beliau dikenal sebagai sosok yang visioner, pekerja keras, dan selalu mengedepankan kepentingan umat.
Ustadz Sriyono, telah wafat pada 23 Juli 2024 di RSUD Tangerang. Beliau mengembuskan napas terakhir di usia 54 tahun, meninggalkan kenangan indah bagi keluarga, kolega, dan masyarakat yang mengenalnya. Kepergian beliau merupakan kehilangan besar bagi dunia pendidikan dan dakwah di Sumatera Selatan.
Ustadz Sriyono meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Beliau akan selalu dikenang sebagai sosok yang penuh dedikasi, teladan, dan inspirasi bagi banyak orang.
Semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. [ABDUL GHOFAR HADI/kosim]
Source: https://hidayatullah.com/feature/mereka-memilih-berani/2022/06/28/232503/kisah-dai-diadang-pedang-terhunus-saat-mau-khutbah-jumat.html